Category Archives: cerita aja

Masih soal being on-time

Posted on

“Being late is not an option” – kepala sekolah SD anak saya. Saya sepenuhnya setuju. Terus terang saya sendiri kadangkala masih lalai masalah ini. Salahsatu contohnya datang ke kantor. Walaupun ketika saya telat dengan kesadaran pribadi saya akan pulang lebih lambat untuk mengkompensasi keterlambatan saya. Yang penting sehari saya bekerja 8 jam. Tapi saya terus berusaha meneguhkan komitmen untuk datang tepat waktu. Dan sudah berjalan sesuai harapan saya.

Saya ingat beberapa tahun yang lalu, ada kawan yang di tegur atasan karena sering datang terlambat. Kawan saya ini kebetulan memimpin beberapa staff. Saya ingat kawan saya ini menceritakan teguran apa yang disampaikan atasan kami. Kira-kira seperti ini.

“When you are late, everybody in your team will be late as well. You are their superior, their role model” – atasan kami

Sejak itu kawan saya selalu datang tepat waktu bukan karena atasan kami marah tapi karena setuju dengan apa yang disampaikan. Kawan saya ini bilang mungkin mereka datang terlambat karena saya mencontohkan datang terlambat itu tidak apa-apa. Apakah setelah kawan saya ini konsisten datang tepat waktu maka staffnya juga datang tepat waktu? Ternyata tidak kawan.

Permasalahannya ternyata tidak sesimpel itu. Tapi kembali lagi ke pribadi masing-masing apakah kita sendiri mau berkompromi dengan keadaan terlambat? Jika iya, maka selamanya kita akan terlambat terus. Tidak peduli atasan mau mencontohkan bagaimana, jika kita sebagai pribadi berpikir “biasa aja kok telat, orang lain juga maklum” maka tidak akan ada perubahan.

Dan ini yang sedang dirisaukan atasan saya sekarang. Beberapa waktu lalu, ketika jam masuk kantor sudah lewat 30 menit, beliau sambil bergurau bilang ke kawan saya.

“Saya bingung kubikel sebanyak ini, waktu sudah menunjukkan pukul segini, tapi masih sepi. Ini jam saya yang salah atau bagaimana ya?”

Kawan saya yang diajak bicara ini sudah membicarakan fenomena ini dengan saya sebelumnya. Ketika dia baru pindah ke departemen saya, komentarnya adalah “ngga disana ngga disini sama aja ya, semua datang telat semaunya”

Saya hanya berkomentar pendek “beda generasi”. Saya generasi tua dong ya 🙂

Kerisauan atasan saya pun di ekspresikan tertulis, beliau menulis pesan kepada kami semua pada suatu akhir minggu. Berharap kami beristirahat dengan baik sehingga bisa memulai hari Senin dengan datang tepat waktu. Apa yang terjadi setelah pesan ini dikirim?

Hari Senin pagi, 15 menit setelah jam masuk kantor lewat, kantor sudah ramai. Tidak terlalu buruk ya untuk permulaan, walaupun harapannya keramaian ini sudah dimulai 15 menit yang lalu pas jam masuk kantor. Seminggu berjalan seperti itu. Sungguh kemajuan yang berarti.

Pertanyaan berikutnya apakah ini tetap konsisten ketika atasan tidak ada?

Tentu tidak. Pagi ini hampir 30 menit setelah lewat jam masuk kantor, dari 20-an staff hanya ada 2 yang sudah datang.

Sekali lagi kembali lagi ke pribadi masing-masing. Jika prinsip kita being late is not an option, then it won’t be an option forever.

Menggali Lubang Sendiri

Hari ini mengalami hal yang sungguh tidak biasa. Kami sekumpulan orang tua murid SD dimarahi oleh kepala sekolah. Ada tidak sekolah lain yang seperti ini? Tapi sungguh pula kami tidak keberatan. Padahal bisa saja kami menolak untuk dimarahi dengan dalih sudah bayar uang sekolah kok malah dimarahi. Tapi sungguh kami tidak keberatan. Kalaupun ada yang keberatan hanya disimpan di dalam hati. Tidak nyata terlihat ataupun diperlihatkan. Apa pasal? Karena komitmen kami ketika memasukkan anak-anak kami ke sekolah ini. Untuk bekerja sama dengan sekolah dengan cara memiliki satu visi dan misi dengan sekolah. Bekerja sama, bekerja sama-sama. Kesepakatan yang kami tandatangani.
Hasil akhir yang diharapkan adalah siswa yang berkarakter sesuai ajaran Islam. Tapi yang menjadi kerisauan para guru dan kepala sekolah adalah tidak terlihatnya karakter ini di para siswa. Sehingga beliau merasa perlu memarahi kami untuk mengingatkan lagi komitmen kami, apa tujuan kami memasukkan anak-anak kami ke sekolah ini, apakah kami masih sevisi dan semisi? Dugaan sekolah yang dikonfirmasi ke kami hari ini adalah tidak berjalannya “jika A maka B” misalnya di sekolah jika datang terlambat sampai 3x maka akan dipulangkan, tidak diperbolehkan sekolah. Nah mungkin di rumah pembiaran terhadap hal-hal yang strict harus dilakukan di sekolah tapi menjadi tidak apa-apa jika tidak dilakukan di rumah membuat anak-anak jadi bingung. Hasilnya pembantahan yang di dapat para guru di sekolah dengan jawaban di rumahku tidak apa-apa kok, kenapa di sekolah tidak boleh? Dan sebagainya…
Saya mengambil hikmah hari ini sebagai introspeksi saya dan suami sebagai orang tua. Karena benar apa yang disampaikan Ibu kepala sekolah hari ini, mungkin terdengar sepele seperti terlambat datang ke sekolah karena terlambat tidur membiarkan mereka menonton televisi terlalu lama. Menonton televisinya saja sudah salah, ditambah lagi durasinya yang lama. Jika kita membiarkan mereka datang terlambat ke sekolah maka selamanya mereka akan datang terlambat kemanapun dan untuk apapun tujuannya. Karena mereka menganggap itu hal yang biasa. Membiarkan mereka main game. Dan pembiaran-pembiaran negatif lainnya. Sama saja menggali lubang sendiri. Ya menggali lubang sendiri.

#1

Posted on

Sia-sia kau hapus rintiknya
Hujan ini belum mau beranjak
Seperti ingatanku padanya
Terlalu lekat

#proyeknuliskecil

Ampuh

Posted on

Sungguh, berpikir bahwa saya tidak lebih baik dari orang lain sangat mempengaruhi saya dalam menilai orang lain.

A m p u h

Ujian kesabaran – edisi rumah sakit

Posted on

Rencananya hari ini my big boy will do circumcision. Jumat minggu lalu nelpon ke salahsatu rumah sakit disini yang dekat rumah apakah harus bikin janji sama dokter urologi atau bedah umum dan Mbak yang menerima telepon saya bilang iya. Jadilah Sabtu pagi kami ke rumah sakit tersebut dan disana ketika kami mau ke pendaftaran, Mbak customer servicenya bilang tidak perlu bikin janji. Ketika saya bilang saya sudah telepon terlebih dahulu dan diberitahu untuk membuat janji, Mbak CS ini melakukan berbagai panggilan telepon entah ke siapa tapi dari pembicaraannya sepertinya perawat dokter yang saya tuju. Dan hasil teleponnya mengkonfirmasi ketidakperluan membuat janji jika mau sunat. Pulanglah saya.
Hari Minggu, saya bertemu dengan beberapa teman. Karena saya ijin pulang lebih awal jadilah saya memberi penjelasan bahwa anak saya mau sunat Senin pagi di rumah sakit A. Teman-teman saya lalu menyarankan hal yang berbeda untuk ke rumah sakit B. Saya cek ke Surat pengantar dokter kantor dan ternyata ditujukan ke dokter di rumah sakit B.
Jadilah Senin pagi pagi kami ke RS B, dipendaftaran saya tanya apakah dokter yang saya tuju ada, Mbaknya bilang ada. Lalu saya sampaikan kalau anak saya mau sunat. Mbaknya bilang iya bisa langsung saja. Sampai di ruang praktiknya belum ada perawat jadi kami menunggu. Kira-kira satu jam kemudian kami tanya perawatnya kok dokternya belum ada. Mas perawatnya bilang dokternya sedang ke luar kota tapi ada dokter pengganti praktik di jam yang sama. (kekecewaan #1)
2 jam menunggu dokter yang dimaksud belum kelihatan juga batang hidungnya (kekecewaan #2), saya tanya lagi ke Mas perawatnya yang dijawab dengan “katanya sudah otw Bu”. Akhirnya saya tanyakan lagi dokter penggantinya bisa menyunatkan kan Mas? Dan jawabannya “Ehm sebenernya saya ngga bisa memastikan sih Bu, karena ini kan dokter pengganti. Nanti ditanyakan langsung sama dokternya ya Bu”. Dang!! Setelah 2 jam nunggu baru dia bilang begini (kekecewaan #3)
Akhirnya saya telepon RS A untuk mengkonfirmasi apakah dokternya masih bisa menerima sunat. Dijawab oleh Mba P bisa Bu silahkan datang, dokternya praktik sampai jam 4 sore. Meluncurlah kami kesana.
Di RS A, pendaftaran sudah mengantri karena sudah lumayan siang. Tapi at the end kami terdaftar. Dan sepertinya this is not a good day for circumsicion. Dokternya mendadak ada tindakan operasi. Yang membuat intonasi saya meninggi adalah perawatnya menanyakan apakah saya sudah buat janji (kekecewaan #4). Rasanya ingin mengkam*retkan mereka jika tidak istighfar. Setelah mengkronologikan yang saya ceritakan di atas, Mbak perawat menelpon dokter yang saya cari. Win-win solutionnya kami harus ketemu dokter dulu untuk konsultasi malam ini dan in parallel di bookingkan untuk tindakan bedah besok pagi sambil menunggu konsultasi dengan dokter.
Ketika saya memposting ini, suami dan anak saya sedang di RS A untuk memenuhi janji konsultasi. Saya belum tahu bagaimana kesimpulannya. Yang saya tahu setengah hari ini habis for nothing.

This is how we spent a day off – crocodiles farm

Posted on

image

It was a rainy day but when the sunshine came, we went off to borneolife at Tritip to see crocodiles farm. But turns out there are elephants as well from Lampung. Not bad. It was amazing to see such big crocodiles. I sometimes heard stories of men eaten by the crocodiles in Mahakam river. And today I saw it myself, with such a huge size, I can imagine a man in the stomach of this creature.

In the text book

Posted on

image

I bought this book couple weeks ago after someone commented somebody else presentation. I thought it was an exaggeration, all the comments about gestures, knowing your resources before presentation, etc. As long as the audience understand what you are talking about, your speech is clear enough, you have questions to answer then you nailed it, that’s my opinion. But then I went to a book store and find this book. Et voila, his comments are exactly in the list of do and don’t of any presentation. Maybe this book is his reference as well. I don’t know.

Catatan pagi

Posted on

Saya harus memaksa diri saya untuk konsisten sholat tepat waktu

Allah Maha Baik, saya yakini sepenuh hati

Ketika saya bandel, Allah tetap baik.

Ketika saya taat, Allah jauh lebih baik lagi

Jadi nikmat mana yang saya dustakan

 

Cerpen #1 – Rusuh file

Posted on

“Edaaaan,” seru Ari ketika membuka email yang diterimanya sore itu

“Masa itu orang yang masuknya belakangan dari gue bisa dapat segitu sih,” lanjutnya sambil terus serius mengamati detil file yang sama.

Dan keajaiban teknologi pun beraksi, hanya dalam hitungan detik dokumen yang semestinya classified as confidential pun melanglang buana bahkan sampai ke benua lain begitu tombol send di klik.

Bisik-bisik tentang file yang konon kabarnya berisi semua hal detil tentang karyawan mewabah dimana-mana. Selama coffee break, meeting, obrolan koridor, warung-warung, dimana-mana. Secepat itu, macam wabah flu.

“Gila itu orang hattrick, berturut-turut dapat nilai bagus pas evaluasi tahunan,” ujar Tomi yang bahkan bukan rekan kerja satu divisi Ari, mengkonfirmasi bahwa email itu sudah beredar semakin luas.

“Lu kira lagi main bola, hattrick,” ujar Ari dan disambut gelak tawa teman-teman lainnya yang ikut nimbrung dalam obrolan paling hits abad ini. Tentu saja hits di kantor Ari, bukan di kantor orang lain.

Kawan lainnya pun urun suara, Kale, terkenal kalau datang paling telat pulang paling awal, “Kalau kayak gini caranya, gue ngga puas. Waktunya gue protes nih”. Kawan-kawan lainnya pun menimpali komentar Kale,”woiii sadar dong, lu masih digaji aja sama perusahaan udah untung. Dengan kelakuan lu yang seenak udel, di tempat lain udah di tendang a.k.a dipecat”. Dan suara tawa pun membahana dari sudut salahsatu kantor tempat mereka biasa melepas penat untuk sekedar coffee break.

Sementara di sudut lain kantor.

“Saya akui saya lalai. Semestinya saya lihat dengan seksama informasi apa saja yang ada didalamnya sebelum meneruskan ke bawah. Saya tidak bisa menghentikan apa yang sudah terjadi, ” dengan wajah kuyu tapi geram bersamaan Ardi menanggapi interogasi atasannya.

“Saya justru tidak habis pikir, kenapa file seperti itu bisa dikirim ke saya tanpa peringatan bahwa file tersebut confidential sifatnya,” lanjut Ardi, masih berusaha membela diri.

“Kita akan minta teman-teman di bagian information technology untuk melihat kemungkinan penghapusan email tersebut dari server. Tapi tidak ada yang bisa kita lakukan jika filenya sudah diunduh dan disimpan kedalam local directory mereka. Yang saya khawatirkan adalah dampak sistemik dari isi file itu,” ujar atasan Ardi yang sepertinya fans fanatik berita Bank Century dengan dampak sistemiknya.

Ardi merenung kembali di ruangan kantornya. Jam-jam segini orang-orang sudah mengunci pintu-pintu kantor mereka. Suasana lengang, hanya sesekali terdengar suara mobil lewat di jalan depan kantor. Urusan file ini sungguh dirasa rumit. Bukan filenya tapi isi filenya. Ardi merasa ini tidak akan hanya menjadi bisik-bisik di koridor. Jika memang sudah seluas itu penyebarannya, tinggal menunggu waktu. Akan ada protes-protes keras dari divisi lain for the sake of equality. Ardi merasa sangat kecolongan. Kenapa dia yang biasanya sangat teliti kali ini sungguh ceroboh. Workload yang sedang menggunung membuat dia merasa tidak perlu mengecek detil isi email yang non teknis. Ardi masih saja berpikir kenapa bawahannya yang bukan anak-anak sekolah lagi tidak bisa berpikir lebih dewasa, memilah informasi mana yang confidential mana yang bukan. Mana yang bisa di share, mana yang tidak. Kenapa mereka berpikir hal-hal sensitif seperti ini bisa dijadikan lelucon dan disebar kemana-kemana. Dimana komitmen dan etika mereka? Tidakkah mereka diajarkan orangtuanya, melihat atau memiliki sesuatu yang bukan hak itu sungguh bisa menyakitkan dan merugikan diri sendiri ataupun orang lain. Tentu saja ini hanya bisa berseliweran di pikiran Ardi saja. Akar masalahnya hanya satu dan dia sadari betul. Kalau saja dia tidak ceroboh.

——————————————————————————————————————

Disclaimer: cerita ini hanya fiksi belaka, jika ada kesamaan tokoh, cerita, tempat maka itu hanya suatu kebetulan semata

cerita ruang tunggu – mengamati perilaku

Liburan natal kali ini saya habiskan di jakarta. Sekalian menengok adik saya yang baru melahirkan putra pertama. Sambil menyelam minum air. Sampai di Jakarta 25 pagi, pesawat take off 10 menit sebelum jadwal. Landing 20 menit sebelum jadwal. Wow! Prestasi! Langsung naik taxi, rute cengkareng – pondok cabe di tempuh hanya dalam waktu 40 menit saja. Wuuussh! Andai Jakarta setiap hari begini, betapa produktifnya hidup, waktu tidak terbuang percuma karena habis di jalan.
Hari ke 2, berangkat ke jungleland Sentul City. Setelah cek di website jadwal operasional Jungleland hari biasa jam 10 pagi – 6 sore. Maka berangkatlah kita jam 9 pagi. Pondok cabe – Jungleland Sentul City hanya 1 jam 10 menit. Artinya kami sampai jam 10:10, tapi parkiran sudah membludak. Sampai di depan loket tiket antrian mengular. Ternyata selama liburan jam buka 9 pagi – 8 malam. Dan tentu saja ada kenaikan tarif dong. Baiklah. Mengingat membawa 2 balita, 2 anak SD maka kami putuskan menyerah. Balik kanan masuk restoran. Makan.
Sorenya saya antar adik periksa ke dokter. Jadwal normal periksa bayi setelah seminggu keluar dari rumah sakit. Dengan supir nekat macam saya, yang baru pertama kali bawa mobil di Jakarta, parkiran di RS di bilangan JakSel itu sungguh menguji nyali saya. Setelah menurunkan adik saya dan bayinya di lobi, saya dengan modal nekat dan doa masuk ke parkiran basement rumah sakit. Basement 1A, penuh. 1B, ada, tapi itu gimana ya cara parkirnya. Basement 2A, ada yang kosong tapi di belakang mobil saya udah ada mobil lain. Basement 2B, lega, ya iyalah, siapa juga yang mau parkir di bawah begini. Beres. Menyusullah saya ke poli anak.
Nah ini dia kisah di ruang tunggu. Prolognya panjang bener ya.
Sampai diruang tunggu, adik saya yang katanya harus datang jam 3h15 karena urutan 35 ternyata belum di panggil juga. Jadilah saya bengong di ruang tunggu. Tanpa buku. Tanpa smart phone. Pas. Klop. Jadilah mengamati perilaku. Saya menyisir pandangan sepanjang ruang tunggu poli anak. Pasangan muda dengan balita mendominasi ruang tunggu periksa dokter. Tunggu dulu dominasi ini tidak hanya sang pasangan dan anaknya, tapi juga baby sitternya. Hanya satu pasangan yang bawa balita tanpa baby sitter, sang ibu sibuk dengan smartphone, sang ayah yang mengendong anak perempuan cantik. Family man. Sementara mereka yang membawa baby sitter, anak-anaknya semua di gendong baby sitter. Ayah bundanya sibuk dengan smart phone. Satu hal yang menarik perhatian saya tentu saja tas yang di pakai para bunda. Setipe. Entah kenapa sore itu LV mendominasi. Ada satu baby boy yang rewel. Dia duduk di stroller didorong baby sitter. Dari sikap dan perilaku si baby boy, saya mengertinya dia minta dilepas dari stroller dan digendong. Tapi ayah bundanya cuma melihat sekilas ke arah bayi lalu balik lagi sibuk dengan smart phone masing-masing. Mbak baby sitternya yang sibuk membujuk baby boy untuk tetap duduk. Tapi akhirnya menyerah, mengambil anak itu dari dudukan stroller dan menggendongnya. Duh anak lucu begitu, kok malah lebih tertarik sama smart phonenya yaa. Selain para orang tua dengan balita, yang berobat juga banyak anak-anak yang kalau saya kisar umurnya mungkin sekitar 11-12 tahun. Nah untuk anak-anak ini dari yang saya amati hanya di temani para bunda. Ayahnya tidak terlihat. Bundanya sibuk dengan smart phone, anak-anaknya sibuk dengan tablet. Game. Mungkin memang begini kali ya situasi di ruang tunggu manapun. Sudah jarang kita temui orang-orang yang menunggu dengan baca buku, toh mungkin dari smartphone pun bisa baca.
Hari ke 3 di Jakarta, kami ajak anak-anak ke Kota. Mencoba komuter line dengan cita rasa baru. Sampai stasiun Depok Baru, antrian beli tiket mengular. Sambil menunggu suami antri, saya memperhatikan orang-orang yang baru turun dari kereta dan keluar stasiun. Ekspresi mereka ketika men-tap kartu komuter supaya bisa keluar stasiun sungguh beragam. Ada yang kebingungan kapan harus menekan palang pintu padahal tanda contreng sudah menyala, dan orang yang antri dibelakangnya ekspresinya langsung terlihat seperti bilang “yaelah gitu aja ngga ngerti”. Ada yang ngetap kartu dimana, tapi ambil jalurnya salah, lalu cekikikan. Ada yang gayanya konfiden sangat, pakai ear phone dengar musik, saya pikir oh mungkin yang ini biasa tinggal di luar negeri jadi lebih advance. Diluar itu semua, saya melihat hal-hal ini sebagai suatu kemajuan yang luar biasa. Saya bilang sama suami, “biasanya kalau beli tiket ngga pernah antri begini, langsung-langsung aja”. Kata suami saya, “ya dulu itu banyak yang ngga punya tiket. Keluar masuk stasiun seenaknya”. Oh jadi sekarang ngga bisa lagi kan masuk stasiun tanpa tiket makanya antri beli tiketnya. Mengambil keuntungan mencoba gerbong khusus wanita, saya sungguh menemukan perbedaan yang luar biasa dengan suasana KRL yang saya alami dulu jaman kuliah. Penuh tapi ngga sumpek. Tidak ada lagi pedagang asongan. Satpam di gerbong khusus wanita dengan tegas menyuruh penumpang lain memberikan tempat duduk jika ada penumpang hamil atau membawa anak balita. Dan ekspresi penumpang yang disuruh berdiri pun biasa saja. Ini kemajuan besar yang lain. Budaya kita berubah lebih baik dalam berkereta. Dulu orang-orang tidak peduli, malah pura-pura tidur kalau perlu supaya tidak memberikan tempat duduk ke orang lain yang lebih membutuhkan. Stasiun pun bersih dari pedagang, menunggu jadi lebih lega.
Pengalaman tidak terlupakan adalah on the way back to stasiun kota. Kami menumpang mikrolet. Kalau saya boleh menyebut ini sebagai penyakit gila, mengutip andrea hirata, maka supir mikrolet ini mengidap penyakit gila no 1 yaitu masuk ke jalur busway. Sampai di perempatan besar berlampu merah, supir ini memperlihatkan penyakit gilanya yang nomor 2 yaitu mengambil jalan untuk belok kanan padahal tidak ada jalan untuk belok ke arah kanan. Ya karena sang supir demi menghindari macet sesudah lampu merah nekat melawan arus. Melipir melawan arus. Tidak peduli di klakson mobil-mobil lain. Ini seperti adegan film action. Demi menghindari kejaran polisi, penjahat berkendara melawan arus. Tapi ini ngga ada polisi yang ngejar. Cuma karena menghindari macet. Yang lebih dahsyat lagi, begitu ada space untuk atret, sang supir pun atret dan melipir dengan jalan mundur sampai depan stasiun kota. Touch down. M39 fenomenal 🙂